Senin, 23 Maret 2015

John Green : Looking For Alaska (Resensi Indonesia)




Penulis: John Green
Tahun Terbit: 2005
Penerbit: HarperCollins Publishers UK
Halaman: 271
Genre: Young Adult

Looking For Alaska adalah buku kedua dari John Green yang saya baca setelah The Fault In Our Stars. Buku ini sendiri terbit di tahun 2005 dan merupakan debut alias karya pertamanya John Green.
Diceritakan dari sudut pandang si tokoh  sentral—yaitu Miles Halter—yang dipanggil Pudge karena tubuhnya yang kurus.

Pudge lahir dan besar di Orlando, Florida sebagai remaja yang awkward, gak punya banyak temen, dan membosankan. Hobinya membaca biografi orang-orang terkenal dan ngehafalin kata-kata terakhir mereka sebelum meninggal. Aneh bukan?

Kisah dimulai saat Pudge mulai pindah sekolah ke Culver Creek Preparatory School di Alabama, sekolah lulusan ayahnya dulu. Ayah bilang, sekolah itu penuh dengan kenakalan-kenakalan remaja tetapi sangat menyenangkan. Pudge yang dulunya cupu itu ingin merasakan yang namanya kenakalan remaja. Tujuannya sekolah di Culver Creek pun salah satunya adalah mencari Kemungkinan-Kemungkinan Besar, seperti yang disebut-sebut oleh sang penyair Francois Rabelais.

Di Culver Creek, Pudge sekamar sama Chip Martin alias Kolonel. Cowok pendek nan jenius, tapi berlatar belakang orang miskin, serta cuma tinggal sama ibunya karena ortunya cerai. Dia juga ketemu Alaska, cewek cerdas, witty, seksi, dan memikat. Alaska memiliki sisi misterius dan sering berubah-ubah mood, kadang sangat seru dan jailnya keterlaluan, tapi kadang-kadang dia penyendiri dan tidak menyenangkan. Terus ada juga Takumi, orang Jepang yang jago ngerap, dan sama aja kayak Kolonel dan Alaska, Takumi juga suka ngelakuin kejahilan remaja. Ada lagi, cewek bernama Lara Buterskaya asal Rumania. Cewek cantik, manis, masih polos dan Bahasa Inggrisnya belum bagus. Dia dijodohin Alaska buat jadi pacarnya Pudge. Meski polos dan belum terbiasa, Lara juga sering terlibat 'aksi-aksi kejahilan' yang dilakukan oleh Kolonel dkk.

Secara keseluruhan, Looking For Alaska berlatarkan kehidupan remaja dan kenakalannya; menjahili geng yang sok kaya, menjahili guru, merokok dan minum wine (meski udah tahu itu dilarang), dan lain-lain. Kalau kata orang dewasa 'Remaja itu selalu merasa dirinya bisa melakukan apa saja', hal inilah yang ingin disampaikan John Green melalui pandangan seorang Miles Halter yang tadinya cupu itu, setelah bergabung dengan teman-teman barunya di Culver Creek.

Kisah ini juga berbumbu asmara. Gimana Pudge yang single dan mencoba mencari pasangan, diam-diam menaruh hati pada Alaska—tetapi Alaska sudah punya pacar, plus, hubungan mereka berdua sudah seperti teman baik. Cerita ini juga menggambarkan rasa keingintahuan anak-anak remaja terhadap seks (makanya buku ini tidak cocok untuk anak dibawah umur, hehe, Minimal 17 tahun lah). 

Looking For Alaska menceritakan petualangan Kolonel dkk memecahkan paradigma-paradigma dalam diri seorang Alaska. Ya, Alaska memang sosok cewek yang misterius. Dibalik pribadinya yang sangat kacau itu, Alaska menyimpan kisah masa lalu yang menyebabkan dirinya selalu tenggelam dalam penderitaan.
"How will I ever get out of this labyrinth of suffering?" Kutipan dari Simon Culivar itu yang selalu dipertanyakan oleh Alaska. "Bagaimana saya bisa keluar dari labirin penderitaan ini?"
Entahlah, Pudge tidak tahu. Alaska selalu menyimpan banyak rahasianya sendiri, dan baru dia ungkap sedikit demi sedikit disaat dia sedang mabuk.

Alur kisahnya maju dan diberi urutan-urutan waktu yang kronologis (seratus hari sebelumnya, hari itu, dua puluh lima hari sesudahnya, dst). Menyenangkan membacanya, sebab kisahnya sendiri ngebikin saya pengen cepet-cepet buka halaman selanjutnya, kepingin tahu hal apa lagi yang akan dilakukan Kolonel dkk? Ada apa dibalik misteri semua ini? Semua penuh dengan teka-teki yang pada akhirnya akan terjawab. Sepertinya sih, memang khasnya John Green untuk menulis cerita yang memiliki twist dan teka-teki seperti itu.

Seperti The Fault In Our Stars, Looking For Alaska juga kaya akan pemikiran-pemikiran dan kutipan-kutipan tentang kehidupan, kematian, dan kehidupan setelah kematian. Juga kaya akan metafora.

“What is an "instant" death anyway? How long is an instant? Is it one second? Ten? The pain of those seconds must have been awful as her heart burst and her lungs collapsed and there was no air and no blood to her brain and only raw panic. What the hell is instant? Nothing is instant. Instant rice takes five minutes, instant pudding an hour. I doubt that an instant of blinding pain feels particularly instantaneous.” 
-John Green-

“You spend your whole life stuck in the labyrinth, thinking about how you'll escape one day, and how awesome it will be, and imagining that future keeps you going, but you never do it. You just use the future to escape the present.” 
-John Green-

“When adults say, "Teenagers think they are invincible" with that sly, stupid smile on their faces, they don't know how right they are. We need never be hopeless, because we can never be irreparably broken. We think that we are invincible because we are. We cannot be born, and we cannot die. Like all energy, we can only change shapes and sizes and manifestations. They forget that when they get old. They get scared of losing and failing. But that part of us greater than the sum of our parts cannot begin and cannot end, and so it cannot fail.” 
-John Green-


Sayangnya kekurangan novel ini adalah:
(1) Kadang-kadang Bahasa yang dipakai adalah American Slang from Southern Accent. Jadi ejaannya agak-agak Amerika Selatan gimana gitu. Yall gon' hav a hard time t' understand this a' first. Terus sering ada penggunaan istilah-istilah slang, yang bikin saya mesti buka google translate pas awal-awal baca. Tapi lama-lama ga perlu google translate kok. Soalnya kesana-sananya penggunaan istilah slangnya biasanya ngulang dari yang awal. Bagus sih, jadi menambah khazanah kata-kata kalian.. haha
(2) Kurang cocok untuk adat Timur, apalagi Indonesia. Bagi mereka, beberapa 'kenakalan' di buku ini masuknya kategori 'kenakalan' remaja aja kali ya.. tetapi kalau untuk budaya Timur, kenakalan mereka sudah termasuk 'pergaulan bebas'. So, saya harap bijaklah dalam membaca novel ini

....At first, I was gonna rate this 3 out of  5, thinking it was boring. But from the middle of the story, I rated it 4,5 out of  5! Good book to enjoy in your leisure time.

1 komentar:

  1. Thank you buat referensinya. Gua suka The Fault in Our Stars (walaupun belum beres baca, gara2 bukunya ketinggalan di Indonesia >_<) Setelah baca review kamu ini, aku jadi kepengen beli buku yang ini juga hehehe

    BalasHapus